Jumat, 11 Desember 2009

KAYA SEKALIGUS DERMAWAN

Kaya Sekaligus Dermawan Adalah Abdurrahman bin Auf yang dikabarkan oleh Rasul sebagai salah satu dari sepuluh sahabat yang dijamin ahli sorga. Ia telah banyak menjadi jalan kebaikan dengan hartanya yang berkah itu. Kala datang berhijrah ke Madinah, ia tidak membawa harta sedikit pun. Namun semangat mandiri dan berusahanya sangatlah besar. Pemberian harta, bahkan tawaran istri dari saudara seiman pun ia tolak dengan halus. Ia memilih mendoakannya dan lebih suka menikmati jerih payahnya sendiri.
“Semoga keluarga dan hartamu diberkahi Allah. Tunjukkan saja aku pasar terdekat.” Katanya.
Keyakinannya demikian mantab. Dan sejak itulah ia mulai melangkah berdagang. Usahanya yang ditekuni itu pun kian berkembang. Apa yang disentuhnya seolah mudah menjadi uang. Bahkan kemudian kehadirannya di Madinah telah menjadi pilar kekuatan ekonomi ummat. Perdagangan yang semula banyak dikuasai oleh orang- orang Yahudi dengan pola ribawi. Kini kekuatan itu diiambil alih oleh Abdurrahman bin Auf dengan pola Islami.
Tiap hari rumahnya tak pernah sepi pengunjung. Sebagian orang datang ke pondoknya untuk bersilaturrahim mengambil sedekah. Sebagian lainnya berkunjung untuk berhutang, dan sebagian berikutnya untuk membayar hutang.
Berapa banyak kekayaan yang dimiliki? Anda bisa memperkirakan dari sedekah yang ia lakukan. Misalnya suatu saat Abdurrahman bin Auf memborong tanah seharga 50.000 dinar (lebih kurang Rp. 17 milyar). Kapling- kapling tanah subur itu lalu dibagikan pada kaum dhuafa dari kalangan Bani Zahra serta fakir miskin lainnya. Ketika Nabi hendak memberangkatkan ekspedisi dakwah dan jihad, ia pun tak pernah ketinggalan memberikan dukungan penuh. Ia menyumbangkan 500 ekor kuda terbaik. Pada ekspedisi lain ia menyerahkan 150 kuda pilihan.
Harta tak mengakibatkannya lupa diri, tetapi membuatnya lebih waspada untuk terus berupaya meraih ridha Ilahi. Suatu kali ia pulang dari ekspedisi niaga dengan 700 kendaraan yang sarat dengan muatan. Kafilahnya ini beriringan hingga memenuhi kota Madinah. Di tengah hiruk pikuk itu, ia diingatkan dengan nasehat Rasulullah. Adalah Aisyah yang diteruskan secara berantai oleh beberapa orang sampai kemudian ke telinga Abdurrahman bin Auf.
“Wahai Ibnu Auf! Anda termasuk golongan orang kaya…. Dan anda akan masuk surga secara perlahan lahan…! Pinjamkanlah kekayaan itu kepada Allah, pasti Allah mempermudah langkah anda..!” Demikian nasehat Rasulullah itu.
Semenjak ia mendengar nasehat Rasulullah ini ia menyediakan bagi Allah pinjaman yang baik. Ia tidak ingin hartanya menjadi beban yang menghambat langkahnya masuk sorga. Ia tidak ingin memasukinya dengan merangkak. Tetapi ia bertekad masuk dengan melompat atau berlari kencang bersama angkatan pertama para sahabat Nabi. Maka melalui amal kebaikan dari hartanya ini Allah pun memberi ganjaran kepadanya dengan berlipat ganda.
Dan sebelum tali temali perniagaannya dilepaskannya, ditujukannya langkah- langkahnya ke rumah Aisyah. Lalu Abdurrahman berkata kepadanya: “Anda telah mengingatkanku suatu hadist yang tak pernah kulupakannya..” Kemudian ulasnya lagi: “Dengan ini aku mengharap dengan sangat agar anda menjadi saksi, bahwa kafilah ini dengan semua muatannya berikut kendaraan dan perlengkapannya, ku persembahkan di jalan Allah…!”
Apakah harta yang dibagikan itu habis? Tidak, malah semakin berkembang. Dan terbukti dalam hidupnya telah demikian banyak kebaikan ia lakukan dengan harta yang ia miliki itu. Bahkan ketika wafat Abdurrahman masih mewasiatkan 50.000 dinar untuk diberikan pada veteran Badar. Masing- masing pahlawan mendapat 400 dinar, sekitar (Rp. 170 juta). Bahkan Utsman bin Affan, turut meneria jatah wasiat sahabatnya itu. Ia yang biasanya pantang menerima pemberian itu bersedia mengambil pensiun dari Abdurrahman.
“Sungguh harta Abdurrahman halal dan suci. Makan dari hartanya akan menyehatkan dan mendatangkan berkah.” Kata Utsman.
Hati Yang Ridha
Kegiatan perniagaan, tidaklah selalu menjadi penghambat dalam memperdalam ilmu. Abu Hanifah adalah salah satu contohnya. Tidak hanya dalam hukum Islam, beliau juga mahir dan handal dalam perdagangan di kota Kufah saat itu. Sehingga selain sebagai ulama besar dalam Fiqh, juga dikenal sebagai saudagar tekstil kaya yang dermawan. Misalnya, sebagai penghargaan kepada guru yang mengajar anak beliau hingga hapal Al Fatihah, Abu Hanifah memberi hadiah 1000 dirham (setara sekitar 3000gr perak). Jumlah yang sebesar itu pula pernah beliau berikan kepada seorang fakir miskin. Perniagaan yang sering dipahami kebanyakan orang penuh tipu daya. Di tangannya, perniagaan malah bisa menjadi suatu ‘seni’ yang menyentuh hati.
Karena suatu keperluan, ia meninggalkan tokonya dan berpesan pada pegawainya agar menjual dengan harga yang telah ditetapkannya.
Sekembalinya ke toko, Abu Hanifah mendapat laporan dari pegawainya.
“Tuan, barang dagangan kita laku keras. Bahkan yang seharga lima dinar bisa saya jual sepuluh dinar.” Katanya dengan semangat.
Bagaimana reaksi Abu Hanifah?
“Kenapa kau jual dengan harga segitu? Bukankah harga masing- masing telah ku beritahukan kepadamu?”
Di luar dugaan pegawainya. Berita yang semula disangkanya akan menggembirakan tuannya itu malah membuat beliau tidak berkenan.
“Carilah pembeli tadi sampai ketemu!”
Pegawai ini pun segera menyusulnya. Setelah ketemu ia mengajaknya menemui Abu Hanifah.
“Maaf, pegawai saya salah memberi harga. Kain yang tuan beli sebenarnya seharga lima dinar. Bukan sepuluh dinar.” Abu Hanifah menjelaskan.
“Oh, Tidak apa- apa. Kebetulan saya mencari barang ini kemana- mana, tetapi baru di sini menemukannya. Saya ridha dengan harga segitu.”
Bagaimana respon Abu Hanifah?
“Ya.., tuan ridha. Tetapi saya belum ridha…” kata Abu Hanifah.
Pada umumnya orang tentu akan senang jika telah mendapat keuntungan besar. Tetapi Abu Hanifah tidak. Kehati- hatiannya demikian menyentuh hati. Cara demikian ini sepintas kurang menguntungkan. Tetapi dalam jangka panjang tentu akan menjadi merek tersendiri. Tentu semua orang senang dengan orang yang jujur bukan? Dengan kejujuran hati ini menjadi lapang dan ridha Allah akan terbentang.
Konsisten
Namanya Assari Assaqti, guru dari Imam Junaid. Selain sebagai ulama tasawuf, dia juga seorang pedagang. Suatu kali ia membeli barang dagangan seharga 60 dinar. Ia akan menjualnya lagi dengan mengambil untung tiga dinar.
Tiba- tiba barang dagangan yang ia miliki menjadi langka. Karena banyak peminatnya, harga pun melonjak menjadi 90 dinar. Seorang datang kepadanya berniat mau membeli barangnya.
“Saya beli barang tuan dengan harga 90 dinar.”
Bagaimana reaksi Assari? Ditawar di atas yang dipatok semula, kebanyakan pedagang tentu akan senang. Karena akan mendapat keuntungan lebih dari yang ditargetkan. Namun ia merespon lain.
“Saya menjualnya 63 dinar.” Kata Assari.
“Tetapi barang itu di pasaran sudah 90 dinar,” kata pembeli ini menjelaskan.
“Ya. Tetapi saya sudah berletetapan hati tidak menjualnya kecuali 63 dinar.”
Keuntungan materi, memang bukan satu satunya motivasi dalam berdagang. Saat bisa meningkatkan motivasi bisnis sebagai taawun, akan tumbuh respon yang berdasar nilai- nilai utama. Bukan semata pertimbangan pribadi. Respon inilah yang menyentuh hati siapa saja. Termasuk akan memberikan kesan indah yang menggores di hati semua pelanggannya. Kalau saja Assari hanya mempertimbangkan keuntungan materi, apa yang dilakukan hanya berjangka pendek. Tidak akan ada biasnya. Tetapi konsistensinya telah menggema dalam sejarah. Bahkan buahnya, harta yang berkah yang insya Allah bisa dipanen di akhirat kelak.
Sederhana
Adalah Kyai Hasani Nawawie. Beliau pengasuh pesantren Sidogiri Pasuruan Jawa Timur. Santrinya mencapai tiga ribuan orang dari seluruh penjuru Indonesia. Mengembangkan pesantren seperti itu tentu dibutuhkan kemandirian.
Dari kekayaan yang dimiliki sebenarnya beliau mampu membeli kendaraan. Namun demikian beliau sengaja tetap zuhud dan bergaya hidup sederhana. Misalnya dalam keseharian beliau biasa ke pasar untuk membeli keperluan keluarganya dengan menumpang becak. Ada kebiasaan unik dari Kyai Hasani. Bila habis menumpang becak, beliau memberi ongkos upah tanpa minta kembalian.
“Uangnya kok besar, lima puluh ribu?” tegur keponakannya.
“Saya kalau disuruh mengemudi becak seperti itu, diberi uang segitu pun tidak mau.”
Beliau menghargai sekaligus merasakan beratnya menjadi pekerja kasar seperti abang becak. Kepada mereka yang tidak beruntung ini, beliau tidak menawar harga semurah- murahnya seperti kebanyakan orang. Tapi memberi apresiasi, sekaligus sebagai kesempatan berbagi dan bersedekah untuk menyenangkan hatinya. Wajar kalau beliau dikenal sangat dekat dengan masyarakat dan menjadi teladan dalam kehidupan.
Ada sebuah ungkapan bijak. Simpanlah harta di dalam peti, jangan masukkan ke dalam hati. Harta yang di simpan di dalam peti, akan mudah didayagunakan sesuai kebutuhan dan keperluan. Meski banyak dan berlimpah ruah, tak sampai mengusik hati. Karena itu bisa digunakan memperbanyak menolong dan melakukan berbagai kebaikan terhadap sesama.
Berbeda halnya kalau sudah dimasukkan ke dalam hati, akan sulit untuk mengeluarkannya di jalan Allah. Orang yang demikian itu bukan tuan dari hartanya, tetapi hamba dari hartanya. Ia justru diperalat oleh harta yang dimilikinya. Harta yang demikian itu bisa menjadi penghalang menuju Allah.
Sesungguhnya orang yang dermawan (suka memberi) itu dekat kepada Allah, dekat pula kepada manusia, dan dekat kepada surga, jauh dari neraka. Sesungguhnya orang yang kikir itu jauh dari Allah, jauh dari manusia dan jauh dari surga tetapi dekat kepada neraka. (HR. Tirmidzi dan Daruquthni).
Benarlah kata Nabi, semaslahat- maslahat harta adalah yang berada di tangan orang kaya yang dermawan.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar